Studi cross sectional (potong-lintang) adalah rancangan studi
epidemiologi yang mepelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor
penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak
pada individu-individu dari populasi tunggal, pada satu saat atau
periode tertentu.
Dalam
rancangan studi potong lintang, peneliti mendapatkan data frekuensi dan
karakter penyakit, serta paparan faktor penelitian pada suatu populasi
dan pada satu saat tertentu. Sehingga data yang dihasilkan adalah
prevalensi bukan insiden. Tujuan studi cross sectional adalah untuk
memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan-determinannya pada
populasi sasaran.
Rancangan Penelitian Cross Sectional :
Kelebihan studi cross sectional:
a. Mudah dilaksanakan,
b. Sederhana dan ekonomis dalam hal waktu dan biaya.
c. Dapat diperoleh dengan cepat
d. Dalam waktu yang bersamaan dapat dikumpulkan variabel yang banyak, baik variabel efek maupun variabel risiko.
e. Tujuannya hanya sekedar untuk mendiskripsikan distribusi penyakit yang dihubungkan dengan paparan faktor-faktor penelitian.
f. Studi cross sectional tidak memaksa subyek untuk mengalami faktor yang diperkirakan bersifat merugikan.
g. Kemungkinan subjek “drop out” kecil.
h. Tidak banyak hambatan etik.
i. Dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya
Kelemahan studi cross sectional:
a. Diperlukan
subjek penelitian yang besar. Sehingga sulit untuk mengadakan
eksplorasi, karena kemungkinan terdapat subyek studi yang terlalu
sedikit dalam salah satu kelompok;
b. Studi cross sectional tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal paparan dan penyakit.
c. Penggunaan
data prevalensi, bukan insidensi menyebabkan hasil study potong lintang
mencermminkan tidak hanya aspek etiologi penyakit tetapi juga aspek
survivalitas penyakit itu. Jika data yang digunakan adalah prevalensi
dan telah terjadi kelangsungan hidup selektif, maka frekuensi penyakit
yang diamati akan lebih besar dari frekuensi penyakit yang seharusnya
diukur. Sebaliknya jika data prevalensi tersebut telah terjadi
mortalitas selektif, maka frrekuensi penyakit yang teramati akan lebih
sedikit daripada frekuensi penyakit yang seharusnya diukur.
d. Sulit menetapkan mekanisme sebab akibat
e. Tidak
dapat memantau perubahan yang berhubungan dengan perjalanan waktu;
sehingga kurang tepat untuk mempelajari penyakit dengan kurun waktu
sakit pendek
f. Kesimpulan korelasi paling lemah dibanding case kontrol atau cohort
g. Tidak menggambarkan perkembangan penyakit secara akurat.
h. Tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan.
i. Kesimpulan korelasi factor risiko dengan factor efek paling lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar